Wednesday 16 June 2010

PEREMPUAN !!!



KETIKA perempuan jadi bahan perbincangan, baik melalui horizon pikiran laki-laki maupun pikiran perempuan, kita akan menghadapi kompleksitasnya. Perempuan tetap berada pada posisi terkotakkan, jika tak boleh dibilang terjajah secara eksistensial. Sebab, dibongkar dengan cara apa pun,perempuan tetap jadi objek.



Ketika berjuang meraih publik, perempuan akan disorot dan diperhadapkan pada wilayah domestik.Perempuan tidak total otonom karena sebagian besar dirinya telah dikonstruksi oleh pikiran dan perspektif laki-laki;tentang tradisi baik-buruk,norma-norma, dan moralitas yang dihunjamkan oleh dunia (laki-laki), sejak perempuan dilahirkan, diasuh, dan digiring sehingga menjadi pihak yang disubordinasikan. Sebagian lain adalah naluri bertahan hidup agar eksis dan berwacana. Dalam usaha ini pun, perempuan tetap berada dalam wilayah bayang-bayang zaman (laki-laki).

Objek?
Berpijak pada pemikiran Nietzsche tentang hubungan manusia dan bahasa, bahwa manusia atau subjek adalah hasil bentukan bahasa serta wacana, bisa ditebak bagaimana Ada-nya seandainya perempuan diasuh dalam bahasa dan wacana laki-laki, bahwa perempuan adalah objek. Bukan hanya dalam ranah sastra, melainkan di setiap bidang: sejarah perempuan adalah sejarah bentukan laki-laki.

Di dunia pewayangan, perempuan adalah objek yang diperebutkan, dipertaruhkan melalui berbagai sayembara, untuk berbagai kepentingan politik dan domestik. Pada masa prakolonial, zaman kerajaan, posisi perempuan cantik diincar untuk dijadikan upeti dan objek perebutan sampai memicu peperangan, bahkan juga dijadikan umpan. Pada masa kolonial, tubuh perempuan secara sadar dan disengaja dihimpun dan direduksi menjadi objek seksual bagi tentara dan dinonmanusiakan.
Pengusiran pemerintah kolonial dari wilayah terjajah tidak membuat posisiperempuan berubah. Karena,bahasa dan wacana yang mengasuh telanjur menjadikan perempuan sebagai objek.Maka, trafficking pun merebak. TKI perempuan dilabeli “devisa negara”.Sangat nyata bahasa dan wacana menjadikan perempuan menganggap diri pahlawan perekonomian negara, sambil melupakan atau memaafkan bahwa dirinya telah dinihilkan. Bagi perempuan, setiap masa
adalah kolonialisasi. Karena pada setiap masa, perempuan lebih dipandang secara wadak, secara fisik, dan tubuh perempuan adalah seonggok daging. Perempuan tidak diakui secara eksistensial. Itu pun bentuk kolonialisme. Kolonialisme (berasal dari kata Latin colonia = berarti permukiman) berarti penguasaan dan penaklukan daerah otonom. Semua gagasan tentang perempuan sudah distrukturkan, dikuasai, dan ditentukan oleh kode- kode tertentu, dalam hal ini oleh laki-laki. Dalam ranah industri, pada iklan media dan televisi, bentukan perempuan yang sudah terkonstruksi sejak dilahirkan bisa dilihat dengan jelas dan mencolok. Perempuan cantik adalah langsing, putih cenderung indo, dan berambut lurus. Dari masa ke masa, kita bisa melihat kecantikan dan citra sosok perempuan diproduksi sehingga membuat perempuan menjadi seperti bercermin, lalu melahirkan tanda tanya besar (Fanny Chotimah dalam “Yang Hilang, Yang Menjelang”, Suara Merdeka, 2 Juni 2010).
Gaung slogan yang mengampanyekan big is beauty menjadi sepi dan akhirnya kembali ke bahasa mula-mula. Pada iklan, kita bisa melihat perempuan berbadan besar dan kulit berwarna cenderung gelap akan menempati iklan diseputar sumur dan dapur, bukan produk kecantikan dan mode menurut ukuran zaman.
Subjek!

Berangkat daripersoalan itu, tulisan Fanny Chotimah menjadi menarik.
Pertanyaan mengandung tantangan yang dilontarkan Fanny, tentang beranikah perempuan menulis dan menjelaskan diri sebelum dijelaskan laki-laki adalah godaan untuk berpikir: bagaimana perempuan berkompromi dengan bahasa agar eksistensinya diakui? Bagaimana agar perempuan sanggup menjadi subjek, bukan objek?
Karena, perempuan telah terbentuk oleh bahasa laki- laki, maka bahasa pula yang mesti dipakai untuk melawan
budaya patriarki dan kekuasaan imperialis terhadap perempuan. Dasar pandangan itu adalah kehidupan disekeliling kitalah yang menentukan dan mengarahkan kesadaran kita. Bahasa akan berperan membentuk identitas perempuan dan
mengonstruksikan subjektivitas. Melalui bahasa,perempuan yang merupakan mahakarya sanggup melahirkan karya besar untuk menjelaskan diri. Bahasa menjadi kunci untuk mewujudkan perlawanan terhadap upaya pereduksian peran dan identitas perempuan serta reproduksi masyarakat. Menolak atau sepakat?

Judul Asli :Perempuan dan Produksi Bahasa
Suara merdeka 16 Juni 2010
- Indah Darmastuti, penulis
novel Kepompong (Jalasutra,
2006), anggota redaksi Buletin
Sastra Pawon Solo


No comments:

Share/Save/Bookmark