Thursday 24 June 2010

Masyarakat Voyeurisme


Apakah dengan menonton video porno termasuk suatu kelainan jiwa ( Voyeurisme )? Dalam Wikipedia dijelaskan mengenai Voyeurrisme yaitu:
Voyeurisme adalah sebuah kelainan jiwa, di dunia kedokteran dikenal sebagai istilah skopofilia. Ciri utama voyeurisme adalah adanya dorongan yang tidak terkendali untuk secara diam-diam mengintip atau melihat seseorang yang berlainan jenis atau sejenis tergantung orientasi seksual berbeda yang sedang telanjang, menanggalkan pakaian atau melakukan kegiatan seksual. Dari ini, penderita biasanya memperoleh kepuasan seksual.

Bila penderita adalah seorang pria, wanita yang diintip pada dasarnya tak dikenal. Mengintip menjadi cara eksklusif untuk mendapatkan kepuasan seksual. Anehnya, ia sama sekali tidak menginginkan berhubungan seksual dengan wanita yang diintip. Cuma berharap memperoleh kepuasan orgasme dengan cara masturbasi selama atau sesudah mengintip. Berbeda dengan seseorang yang normal, penderita voyeurisme sudah terpuaskan tanpa harus melakukan sanggama.
Nah sekarang apakah anda-anda yang sudah menonton video nya Ariel-Luna atau Ariel-Cut TAri termasuk penderita Voyeurisme? MAri kita simak tulisan berikut ini:





BEBERAPA teman dengan‘’ bangga’’ berceritera kalau sudah menonton video heboh. Mereka yakin kalau itu Luna Maya dan Ariel Peterpan sungguhan. Di lain pihak media massa, baik cetak maupun elektronik, secara berulang-ulang menyebutkan video porno mirip kedua artis tersebut.Dua pernyataan itu menunjukkan terjadinya dua model klaim informasi yangberbeda antara masyarakat dan media. Pada satu pihak,masyarakat meyakini bahwa video yang mereka tonton benar-benar sosok Luna dan Ariel. Sedang, di lain pihak,media massa dengan gampangnya menyebut itu bukan Luna ataupun Ariel, melainkan dua orang yang mirip mereka.Kedua klaim tersebut baru dapat dipastikan mana yang benar bila pihak yang berwajib mengusut dengan bantuan tenaga ahli telematika ataupun lewat investigasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tulisan ini tidak dimaksudkan membahas terlalu jauh tentang mana yang benar dari kedua klaim itu. Betapapun pihak berwajib bisa memastikan kebenaran yang sesungguhnya, orang tidak akan begitu saja dapat memercayainya. Di negeri ini orang sudah makin sulit membedakan mana yang benar dan yang salah. Yang banyak terabaikan dari kasus video tersebut justru makin parahnya penyakit masyarakat kita. Di tengah kondisi bangsa yang makin terpuruk dengan pelbagai isu terorisme dan korupsi, masyarakat justru mendapat suguhan panggung hiburan baru untuk mengumbar penyakit ‘’mengintip orang’’.Kalau dalam kondisi normal, untuk mengintip saja orang harus sembunyi-sembunyi karena malu bila ketahuan,maka dalam kasus video ini orang justru berani melakukannya secara terbuka, dan bahkan dengan bangganya berceritera. Mereka tak menyadari bila yang dilakukannya masuk kategori kelainan psikologis yang disebut voyeurism, atau kelainan seksual yang dilakukan dengan kebiasaan mengintip orang telanjang ataupun sedang berhubungan intim.Bisa jadi perilaku menonton video-video porno yang makin marak di masyarakat, terutama kasus video Luna-Ariel, dilandasi rasa ingin tahu atau penasaran apakah yang melakukan memang bintang pujaan mereka. Yang jadi soal, apakah semua rasa ingin tahu dan penasaran harus dipenuhi dengan menonton langsung videonya? Pertanyaan ini setara dengan apakah untuk mengatasi rasa penasaran tentang rasa candu atau narkoba orang harus mencicipinya?
Tidak Peduli Pesta pora menonton video Luna-Ariel, dan video sejenis lainnya, makin menggerus rasa empati masyarakat terhadap korban. Mereka tidak lagi peka atas apa yang dirasakan Luna, Ariel ataupun keluarganya saat ini. Mereka seperti tak peduli lagi bahwa Luna, Ariel, dan keluarganya telah menjadi korban yang ditelanjangi berjuta mata, dihujat, dan dituding telah berzinah tanpa daya untuk melakukan pembelaan. Harus diakui bahwa meledaknya kasus video Luna- Ariel terjadi akibat gencarnya pemberitaan media massa. Selain revolusi internet yang makin mempermudah peredaran video, pemberitaan media massa, terlebih televisi, disadari atau tidak membangkitkan voyeurism dalam masyarakat.
Sejak berita tentang video tersebut muncul sekitar seminggu lalu (04/06), media seperti mendapat angin segar untuk meningkatkan pembaca atau penontonnya.
Pengelola media seakan lupa bahwa selain harus menjalankan fungsi informasinya, media juga punya tanggung jawab moral untuk menjalankan fungsi edukasi. Dalam kasus pemberitaan video Luna-Ariel, saya belum melihat fungsi edukatif yang dijalankan media
. Yang banyak bermunculan hanyalah infotainment terselubung yang lebih memberi ruang basic instinct pembaca atau pemirsa ketimbang ajakan cerdas yang mengarahkan perhatian pada bagaimana aparat hukum melakukan investigasi terhadap pelaku pengedar video porno.
Khusus untuk televisi, melalui tulisan ini saya ingin mengingatkan bahwa frekuensi yang digunakan adalah milik publik. Adalah sangat tidak etis bila isi siaran yang ditayangkan bukannya meningkatkan kecerdasan masyarakat tetapi meresahkan orang tua karena mengganggu perkembangan jiwa anak-anak mereka.
Siaran atau penayangan berita kasus video Luna-Ariel bila tidak cermat akan menjadi racun masyarakat, terutama anak-anak. Ini semua sesungguhnya telah diatur dalam P3 dan SPS Komisi Penyiaran. Karena itu, produser siaran berita ataupun program lain di stasiun televisi mestinya selalu menjadikan P3 dan SPS pegangan untuk produksi program atau siaran yang menyangkut video semacam itu. Selain itu, mereka juga harus selalu teringat bahwa acara yang diproduksi dan ditayangkan stasiun TV-nya
kemungkinan besar juga ditonton anak-anak, termasuk anak atau adik mereka sendiri.



Judul Asli :Video dan Voyeurisme Masyarakat


— Wisnu T Hanggoro,
konsultan media, pendiri
Lembaga Studi Pers &
Informasi

No comments:

Share/Save/Bookmark