Thursday 28 April 2011

Inilah Alasan kenapa studi banding DPR adalah pemborosan


#dukungdjokosusilo
Ada ciri yang sama dari tujuan studi banding: negara maju sangat cocok untuk kegiatan "sampingan", yakni berwisata. Kolega saya yang menjabat kepala perwakilan RI di negara-negara kurang maju, seperti Ethiopia, Zimbabwe, Sudan, Senegal, dan Nigeria, jarang menerima kunjungan rombongan. Tujuan utama kunjungan biasanya tiga wilayah, yakni Eropa Barat, Asia Timur/ASEAN/Australia, dan Amerika Utara.

MESKI tahun lalu sempat dihujat dan dikritik habis-habisan, tahun ini Dewan Perwakilan Rakyat akan kembali melanjutkan kebiasaan kunjungan kerja ke luar negeri, yang dianggap banyak pihak sebagai pemborosan. Kebiasaan yang sama dilakukan pejabat pemerintah-baik pusat maupun daerah-yang mempunyai hobi jalan-jalan ke luar negeri.

Pada umumnya, kunjungan kerja para pejabat ke luar negeri mempunyai tiga tujuan. Pertama, menghadiri konferensi, semacam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, OKI, IPU, dan AIPO. Kedua, melakukan negosiasi untuk sebuah perundingan. Ini banyak dilakukan oleh tim Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan lain-lain. Termasuk dalam kategori ini pengiriman misi perlindungan warga negara di luar negeri. Ketiga, kunjungan studi banding. Kelompok terakhir inilah yang menjadi masalah dan perlu mendapat perhatian serius. Sebab, kebanyakan studi banding sebenarnya merupakan acara tamasya yang dibiayai dinas.

Dalam setiap kunjungan kerja, sedikitnya tiga pihak terlibat, yakni instansi yang mengirim rombongan, Kedutaan Besar Republik Indonesia yang mengatur kegiatan selama di suatu negara, dan instansi negara penerima. DPR termasuk "pemasok" kegiatan kunjungan kerja yang cukup tinggi. Dalam setahun, seorang anggota Dewan rata-rata melakukan dua-tiga kali perjalanan dinas ke luar negeri, bahkan lebih, bergantung pada keterlibatannya di panitia khusus, komisi, atau badan-badan di Senayan.

Karena menjadi salah satu "pemasok" yang tinggi, wajar jika DPR menjadi sorotan, walau, sekali lagi, Dewan bukan satu-satunya lembaga yang mempunyai program kunjungan ke luar negeri. Tingginya program ke luar negeri dari banyak instansi di Indonesia bisa dilihat dari kesibukan perwakilan-perwakilan RI di luar negeri. Mereka terpaksa menempatkan staf lokal khusus mengurus tamu di bandara.

Kita bisa melihat betapa sibuknya Kedutaan RI di Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Den Haag, dan banyak negara lain. Dalam setahun, rata-rata bisa menerima 4.000-5.000 delegasi resmi-yang dimaksudkan resmi ialah rombongan yang memberi tahu kedutaan dengan mengirim kawat. Jadi, dalam sehari kedutaan menerima rata-rata 10-15 rombongan resmi.

Kesulitan kedutaan bukan hanya menerima banyaknya anggota rombongan. Kadang-kadang ada dua rombongan dengan tujuan ke instansi sama tapi datang pada hari berbeda. Misalnya, pada pekan pertama datang rombongan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Perbankan untuk bertemu dengan asosiasi perbankan di suatu negara. Pekan berikutnya datang Panitia Khusus RUU Keuangan ingin berdialog dengan asosiasi yang sama. Ini sangat merepotkan. Sebab, sulit sekali kedutaan menjelaskan kepada mitra kerja di negara itu bahwa dua rombongan itu dari panitia khusus yang berbeda.

Ada ciri yang sama dari tujuan studi banding: negara maju sangat cocok untuk kegiatan "sampingan", yakni berwisata. Kolega saya yang menjabat kepala perwakilan RI di negara-negara kurang maju, seperti Ethiopia, Zimbabwe, Sudan, Senegal, dan Nigeria, jarang menerima kunjungan rombongan. Tujuan utama kunjungan biasanya tiga wilayah, yakni Eropa Barat, Asia Timur/ASEAN/Australia, dan Amerika Utara.

Dalam banyak kesempatan, terkadang rombongan tanpa malu-malu mengatakan akan lebih banyak berwisata daripada melakukan kunjungan sesungguhnya. Tahun lalu saya nyaris menolak serombongan dari dewan perwakilan rakyat daerah sebuah provinsi di Sumatera. Sebab, dalam surat yang dikirim ke Kedutaan Besar RI di Bern, mereka hanya mengalokasikan waktu enam jam untuk kunjungan kerja selama enam hari.

Saya langsung memberi instruksi: tidak usah diurus rombongan Dewan yang hanya mau berwisata. Silakan jalan sesukanya di Swiss, tapi Kedutaan tidak akan menstempel formulir surat perintah perjalanan dinas-bukti pertanggungjawaban penggunaan dana untuk perjalanan itu.

Bahwa kebanyakan kunjungan kerja selama ini hanya jalan-jalan memang bukan cerita bohong. Umumnya satu instansi menyusun alokasi anggaran untuk tujuh hari. Nyatanya, waktu pertemuan resmi hanya dua hari-paling lama empat jam setiap harinya, dua jam pagi hari dan dua jam sore. Selebihnya "free time", yang sering disamarkan dengan "kegiatan pendalaman" untuk masing-masing anggota. Tidak jelas yang dimaksudkan dengan "pendalaman". Yang banyak terjadi, anggota rombongan jalan-jalan sepanjang hari. Masih lumayan kalau ada anggota minta diantar ke toko buku, karena sangat jarang mereka punya hobi baca buku.

Ada juga rombongan aneh dan tidak masuk akal. Misalnya, banyak rombongan ke Eropa masuk melalui Prancis. Tapi mereka melakukan kunjungan pada musim panas. Padahal, pada saat itu, mayoritas warga Eropa meninggalkan negaranya untuk liburan panjang. Akhirnya anggota Dewan yang terhormat hanya diterima pejabat sekretariat-bukan mitra kerja yang sesuai.

Sangat wajar jika sekarang banyak tuntutan agar DPR-juga instansi pemerintah-memperbaiki pelaksanaan kunjungan kerja. Bahkan, kalau perlu, studi banding dihentikan sama sekali. Mengapa? Karena perbandingan antara biaya dan hasilnya sangat tidak berimbang. Ambil contoh, untuk perjalanan ke Eropa, seorang anggota memerlukan sekitar US$ 10 ribu. Rata-rata rombongan terdiri atas 13 orang dan dua anggota staf sekretariat. Jadi, untuk satu tim kunjungan kerja, dibutuhkan biaya paling tidak US$ 150 ribu.

Dalam pertemuan dua jam dengan instansi tujuan, tidak semua anggota berkesempatan bertanya atau berdiskusi. Apalagi jika ada kendala bahasa, misalnya ke negara non-bahasa Inggris. Akan lebih efektif jika pemimpin lembaga di Indonesia-baik DPR, DPRD, Dewan Perwakilan Daerah, maupun instansi pemerintah-lebih memanfaatkan kedutaan. Misalnya kedutaan diminta mencari informasi yang diperlukan.

Terus terang saja, jika panitia khusus, komisi, DPRD, atau instansi lain bersedia memanfaatkan kedutaan, akan terjadi efisiensi yang luar biasa. Kualitas informasi yang diperoleh juga pasti lebih bagus. Dari pengalaman mengikuti kunjungan sewaktu masih menjadi anggota Dewan, dan kini mengatur kedatangan kunjungan, saya menyimpulkan, kebanyakan informasi yang diperlukan bisa diperoleh jawabannya lewat kedutaan. Jadi buat apa menghabiskan banyak uang untuk kunjungan yang kurang produktif?

Cara lain adalah mengundang pakar dari luar negeri ke Tanah Air. Banyak lembaga nonpemerintah atau mitra kerja luar negeri yang mau membiayai kedatangan pakar ini. Atau, kalau harus membiayai sendiri, masih jauh lebih murah daripada mengirim rombongan studi banding ke luar negeri. Perkiraan saya, US$ 10 ribu sudah cukup untuk mendatangkan pakar bidang apa pun ke Indonesia.

Tentunya pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Daerah bisa lebih selektif dalam mengeluarkan izin perjalanan. Misalnya, izin diberikan jika semua rancangan acara sudah beres dan diperkirakan bisa benar-benar produktif. Selama ini pemimpin Dewan memberikan izin perjalanan kepada panitia khusus atau komisi. Baru kemudian sekretariat bergerak mengatur acara. Dengan demikian, kontrol atas program acara hampir tidak ada, atau sangat lemah.

Sebagai pemimpin Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bern, saya mewajibkan setiap kunjungan kerja ke Swiss memanfaatkan 70-80 persen waktu untuk acara resmi. Kurang dari alokasi itu, sebaiknya kunjungan ditunda atau dibatalkan. Masalahnya, mau tidak kita mengubah kebiasaan tamasya dengan alasan perjalanan dinas menjadi kunjungan kerja sebenarnya?

*Duta Besar RI di Swiss; tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

dikopas dari sini
Share/Save/Bookmark